Tak Berhenti Suarakan Revisi BTA 1970

Gubernur Usul Batas Transaksi Minimal USD 1.000

TANJUNG SELOR – Usulan Gubernur Kaltara Dr H Irianto Lambrie agar nilai transaksi perjanjian perdagangan lintas batas atau border trade agreements (BTA) Indonesia-Malaysia direvisi bukan hal yang baru. Dikatakannya, usulan ini telah berulang kali dibawa dalam forum rapat bilateral kedua negara. Namun hingga kini belum juga terealisasi. Dan dirinya tak berhenti menyuarakan usulan tersebut, untuk mengakomodir harapan masyarakat. Utamanya yang berada di wilayah perbatasan.

Gubernur mengatakan, perjanjian BTA yang ditandatangani pada tahun 1970 tidak cukup mengakomodasi aktivitas perdagangan di kawasan kedua negara. Irianto, menginginkan batas transaksi sebesar 600 Ringgit Malaysia (RM) per kepala keluarga (KK) ditingkatkan minimal menjadi USD 1.000.

“Karena kondisi perdagangan terus berkembang. Khususnya terkait dengan harga barang. Nilai transaksi RM 600 tentu sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang,” ujar Gubernur.  Selain telah sering dirundingkan oleh pemerintah dua negara, Pemprov Kaltara juga sudah memanfaatkan pertemuan turunan perjanjian bilateral dua negara sahabat untuk menyampaikan usulan revisi poin BTA.

“Setiap pertemuan Sosek Malindo pasti kita bahas, mengajukan revisi BTA. Tetapi pihak Malaysia masih menunda-nunda,” ujar Irianto. Jauhnya jarak antara pusat-pusat kegiatan ekonomi di wilayah Indonesia dengan daerah perbatasan Indonesia dan kondisi sarana prasarana mengakibatkan munculnya disparitas harga barang kebutuhan pokok dan barang penting sehari-hari lainnya.

Oleh karena itu, kata Irianto, perlu kebijaksanaan baik yang bersifat lokal, nasional, maupun internasional agar kondisi strategis daerah perbatasan harus memberi manfaat bagi penduduk Indonesia khususnya yang berdiam di daerah perbatasan, yaitu dengan memberikan fasilitasi perdagangan perbatasan dan kegiatan ekspor impor.

Hartono, Kepala Disperindagkop Provinsi mengutarakan alasan penundaan revisi BTA oleh Malaysia. Kata Hartono, Malaysia tidak ingin barang yang dibeli warga Indonesia di perbatasan, dijual lagi ke masyarakat. “Malaysia mau barang itu hanya untuk masyarakat perbatasan. Barang belanjaan dari RM 600 itu tidak boleh  lagi dijual di luar wilayah perbatasan itu,” ujarnya.

Untuk itu, Pemprov Kaltara mengajukan usul agar warga yang berbelanja lebih dari RM 600 ringgit tetap diperbolehkan tetapi dengan kategori perdagangan ekspor impor, bukan perdagangan lintas sesuai BTA. Kewenangan perizinan ekspor impor sebut Hartono sejatinya kewenangan pemerintah (pusat).

“Meskipun kita usulkan agar masyarakat yang berbelanja banyak di Malaysia pakai izin ekspor impor, revisi nilai BTA RM 600 tetap diusulkan minimal menjadi USD 1.000,” ujar Hartono. “Artinya, Malaysia mau WNI berbelanja ke Malaysia tetapi dengan sistem ekspor impor. Bukan dalam bentuk transaksi BTA. Karena BTA itu dikhususkan oleh orang-orang perbatasan dua negara saja,” tandasnya.

Hartono mengatakan, selain mengusulkan revisi BTA, Gubernur juga sejauh ini telah sukses mendorong pemerintah untuk membangun Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di beberapa titik perbatasan. “Bagaimanapun kita pemerintah berkepentingan untuk menjamin ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting bagi masyarakat perbatasan. Bisa dipasok sebagian besar dari kegiatan produksi di wilayah NKRI dan sebagian lain bisa dari kegiatan produksi di negara tetangga,” ujarnya.

Akan tetapi, pemerintah dan Pemprov masih terus melakukan pembangunan dan peningkatan akses transportasi dari wilayah perkotaan ke wilayah perbatasan yang salah satu tujuan jangka panjangnya adalah menyediakan barang kebutuhan pokok masyarakat dan tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru di perbatasan.

“Otomatis ke depan jika jalan sudah tersambung, PLBN sudah jadi, produk dalam negeri bisa kita jual ke Malaysia. Kalau kurang kita manfaatkan kerja sama bilateral ini. Itu juga bisa mempererat hubungan bilateral kedua negara,” ujarnya.(humas)

Tinggalkan Balasan