Opini  

SENJAKALA PETANI RUMPUT LAUT DI KALTARA, Dulu Makmur Kini Tersungkur

 

DULU petani rumput laut di Kalimantan Utara bisa hidup berkecukupan saat kuantitas panen berlimpah dan harga menjanjikan. Namun saat ini dari hasil rumput laut, jangankan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, balik modal saja tidak.

 

Penulis : Fadhil Qobus

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN

KOORDINATOR WILAYAH KALIMANTAN UTARA BEM SE-KALIMANTAN (BEM SEKA)

 

 

Rumput laut adalah salah satu komoditas utama yang berasal dari sektor perikanan dan kelautan Kalimantan Utara. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kalimantan Utara (Kaltara) memiliki potensi produksi rumput laut 5.000 ton/bulan atau 60.000 ton/tahun menjadi daerah pemasok terbesar keempat di Indonesia.

Ekspor komoditas rumput laut yang setiap tahunnya mengalami peningkatan, tetapi bertolak belakang dengan harga jual rendah yang meresahkan para pembudidaya rumput laut. Awal tahun 2023 dibulan Januari menjadi titik berangkat turunnya harga rumput laut secara perlahan hingga dibulan september harga benar-benar anjlok. Dimana harga tertinggi kisaran ± 40.000 – 30.000 menjadi ± 9.000 – 7.000 per kilo.

Anjloknya harga yang dirasa merugikan, tergambarkan lewat curhatan seorang pembudidaya, Muslimin, “Rumput laut hanya dihargai 7000/kg, kami rugi sebab biaya yang dikeluarkan dari proses pemasangan bibit hingga panen tidak sebanding dengan harga jual. Biaya pemasangan bibit/bentang 10.000 ditambah biaya operasional seperti bahan bakar dan konsumsi”.

Dikatakan bahwa turunnya harga disebabkan komoditas rumput laut yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar membuat harga turun ketika permintaan pembeli (buyer) berkurang. Ditambah dengan kualitas rumput laut lokal yang belum maksimal.

Alih-alih menanggapi persoalan ini dengan serius, pemerintah daerah justru bersikap acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi kepada para pembudidaya rumput laut. Keterbatasan kewenangan menjadi mantra andalan dan kalimat pelindung agar Pemerintah tidak perlu repot-repot berpikir mencarikan solusi jangka pendek dan jangka panjang untuk masalah ini.

Padahal perihal pemasaran dan pengembangan kualitas rumput laut itu sudah menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah yang tertuang jelas dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan beserta aturan turunannya PP Nomor 27 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan atau Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1/KEPMEN-KP/2019 tentang Pedoman Umum Pembudidayaan Rumput Laut.

Keresahan masyarakat, petani rumput laut di Kalimantan Utara khususnya Kota Tarakan dan Kabupaten Nunukan terbilang berlarut-larut sebab terjadi sejak akhir tahun 2022. Masyarakat sudah berikhtiar, menyampaikan keresahan pada Pemerintah Kota/Kabupaten serta Pemerintah Provinsi melalui media lokal dan Rapat Dengar Pendapat (RDP). Pemerintah menjanjikan solusi jangka pendek dan jangka panjang berupa resi gudang, pengembangan bibit, peningkatan kualitas, hingga regulasi untuk menangani persoalan ini.

Tetapi janji hanyalah janji, hingga hari ini nasib petani masih diujung tanduk. Janji yang disampaikan dan dinanti pun tidak jelas implementasinya sampai sekarang. Yang katanya negara kita adalah negara hukum (UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3) dan seyogyanya memprioritaskan kesejahteraan masyarakat. Salus Populi Suprema Lex, Kesejahteraan Rakyat adalah Hukum Tertinggi termasuk kesejahteraan petani rumput laut Di ujung utara Indonesia, Kalimantan Utara.