banner 500x500
OPINI  

Kejahatan Seksual Menunggu Implementasi UU TPKS

Oleh Noorjanah

(Aktivis Perempuan Kaltara, Anggota FAMM Indonesia)

 

Kejahatan seksual marak terjadi di mana-mana, korbannya beragam termasuk anak dibawah umur. AE anak warga Kabupaten Malinau salah satunya. Pelakunya ZA, orang yang konon diam-diam mengenal  keluarga dan korban.

Kasus serupa tak hanya kali ini terjadi di Kaltara pada umumnya, sebagai provinsi termuda dan berada di wilayah perbatasan tentunya hal ini harus menjadi atensi serius bagi semua pihak. Begitupun bagi aparat penegak hukum, dimana pelaku harus mendapatkan hukuman yang setimpal.  Tanpa tebang pilih.

Diculik, disekap dan 4 kali digauli, bukanlah kesalahan sederhana. Hanya manusia yang tak bisa memanusiakan manusia saja bisa melakukannya. Apapun hukumannya, apapun regulasi yang menjadi dasar tak akan bisa sebanding dengan dampak yang akan dirasakan AE. Luka berdarah besok lusa bisa kering, tetapi luka trauma terbawa seumur  hidup. Bahkan dewasa sekalipun sulit untuk mengobati trauma, apalagi AE yang notabenenya masih usia belia. Sekali lagi, aparat penegak hukum harus memberi ganjaran yang setimpal pada pelaku.

 

Noorjanah, aktivis perempuan Kaltara, anggota FAMM Indonesia

Disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tentu saja menajadi hadiah terindah untuk para penyintas. Tentu saja tak hanya fokus pada pelaku, dalam kasus serupa korbanlah yang paling dirugikan. Tak ada bayaran atau bahkan hukuman yang setara untuk kasus kejahatan seksual seperti ini.

Menjadi tugas bersama untuk mengawal implementasi UU tersebut, tak terkecuali bagi Kaltara sebagai wilayah perbatasan, yang juga memiliki potensi terjadinya kekerasan seksual dalam berbagai bentuk. Dinas terkait mestinya bisa lebih agresif agar uu ini bisa segera diimplementasikan.

Saya menyakini, kasus yang terungkap hari ini hanya sebagian kecil saja, apalagi patokan jumlah kasus hanya pada berapa banyak aduan. Meskipun adanya aduan adalah modal bagi penegakkan hukum untuk bertindak, disisi lain korban atau keluarga kadang kala enggan melapor karena dianggap aib, apalagi pelaku adalah orang terdekat atau bahka  keluarga sendiri.

Jika ada hukuman yang setimpal bagi pelaku, itu hanya ada dalam angan-angan, siapa yang bisa jamin korban bisa pulih seperti semula. Semakin maraknya kasus serupa, menjadi refleksi bersama bagi kami kaum perempuan dan anak, dimomen Hari Kartini, dimana lagi tempat yang aman bagi kami, jika orang terdekat saja merupakan ancaman.