Kuasa Oligarki di Draf RUU Pemilu

IlustrIlustrasi RUU Pilkada.asi RUU Pilkada

Gambar : Ilustrasi RUU Pilkada.

DPR dan pemerintah bakal mengubah sistem kepemiluan Indonesia lewat revisi Undang-Undang Pemilu yang sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021.

Akan tetapi, dalam draf revisi UU Pemilu tersebut, tak ada perubahan yang bersifat esensial.

Ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) pun masih sama: kepemilikan 20 persen kursi DPR, atau 25 persen perolehan suara pemilihan legislatif tingkat nasional. Sama seperti sebelumnya.

Draf revisi UU Pemilu ini membuktikan politik tanah air hanya bisa dihuni para elite. Semacam pelanggengan eksistensi oligarki, alih-alih menguatkan sistem presidensial atau mengakomodir kepentingan masyarakat umum.

Pihak pengusul revisi UU Pemilu kali ini pun DPR, yang isinya notabene elite partai politik. Sebelumnya, selalu pemerintah yang menjadi pengusul revisi UU Pemilu.

Sebenarnya, pemerhati pemilu sudah berulang kali menggugat syarat dalam UU Pemilu tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Mereka merasa presidential threshold tak perlu ada alias 0 persen, sehingga pencalonan presiden tidak bergantung kepada kehendak partai politik di DPR.

Namun, gugatan mereka selalu ditolak Mahkamah Konstitusi. Walhasil, pada Pilpres 2019 lalu, syarat presidential threshold tetap berlaku.

Hakikat Sistem Presidensial

Masalah ambang batas pencalonan ini adalah hal penting dalam kehidupan demokrasi. Berkenaan juga dengan hakikat sistem presidensial yang (katanya) dianut Indonesia.

Masalah sistem pemerintahan yang dianut Indonesia ini bisa dikatakan membingungkan. Presidensial atau parlementer, entah bagaimana menjawabnya. Bukan parlementer, tetapi presidensial pun tidak sungguh-sungguh.

Presidensial adalah sistem yang menempatkan presiden di posisi politik yang kuat. Tetapi tidak demikian di Indonesia. Tentu akibat ambang batas pencalonan tersebut.

Lantaran ada syarat itu, seseorang yang ingin menjadi calon presiden harus mendapat tiket dari partai politik di DPR. Dengan demikian, orang tersebut akan tunduk pada kepentingan partai politik demi mendapatkan tiket ikut pilpres.

Jika sudah terpilih memimpin negara, maka dia pun tidak bisa disebut sepenuhnya kuat. Dia pasti akan mempertimbangkan atau bahkan menuruti kehendak partai politik yang telah memberikan tiket.

Berbeda halnya dengan sistem pemerintahan parlementer yang memang membuat partai politik di parlemen lebih punya kuasa. Pemilik kursi terbanyak di parlemen bisa menunjuk kepala pemerintahan/presiden dan bertanggung jawab kepadanya.

Apabila Indonesia memang benar-benar ingin mengklaim menganut sistem presidensial, maka sebaiknya DPR dan pemerintah menghapus ambang batas pencalonan ini dalam pencalonan presiden. Toh, revisi UU Pemilu masih berupa draf, sehingga masih mungkin dilakukan.

Dalam draf juga ada aturan baru, yakni calon presiden-wakil presiden dan kepala daerah wajib menjadi anggota partai politik (kecuali jalur perseorangan). Aturan ini tidak ada di UU Pemilu dan Pilkada sebelumnya.

Draf revisi UU Pemilu jadi mengesankan bahwa partai politik, yang diisi para elite, sangat ingin mengontrol eksekutif selaku pemilik wewenang dan kebijakan. Partai politik seolah ingin kepentingannya terus terpelihara.

Implikasinya, sosok baru dari kalangan rakyat jelata dan memiliki visi mengubah tatanan yang ada untuk menjadi lebih baik menjadi sulit muncul.

Kalau pun bisa, maka dia otomatis akan menuruti kemauan elite partai politik, lalu melunturkan idealismenya.

Tuntutan Perubahan

Perlu ditekankan kembali bahwa Republik tidak sama dengan monarki. Republik menempatkan kuasa tertinggi di tangan rakyat. Termasuk dalam kehidupan politik.

Namun setelah Reformasi 1998, sistem politik kita semakin eksklusif untuk para elite. Publik, masyarakat umum, semakin tidak leluasa berperan aktif. Politik telah dipagari oleh mereka yang tak mau ada orang baru dengan visi dan tujuan lebih mulia.

Partisipasi publik jadi hanya sebatas transaksi jual beli suara demi melanggengkan oligarki. Tak ada perhitungan ideologis tentang bagaimana Indonesia menjadi lebih baik untuk semua kelompok.

Dahulu, kita meruntuhkan otoritarianisme dengan meneriakkan demokrasi. Tetapi kini, sistem pemilu dibuat bukan demi demokrasi yang baik untuk semua. Demokrasi hanya terbatas jual beli dan persaingan kepentingan masing-masing elite.

Elite mendekatkan diri ke lapisan bawah saat pemilu, tetapi memutus hubungan relasi ketika sudah terpilih menjadi pejabat negara.

Mata buta, telinga tak mendengar saat kepentingan oligarkinya mulai terusik oleh kritik dari bawah. Rakyat, yang sebenarnya pemilik kuasa di negara republik, jadi ibarat anjing menggonggongi tuannya namun tak pernah digubris. Itu semua sudah dan akan terjadi lagi jika UU Pemilu tidak mengalami perubahan esensial.

Selagi revisi UU Pemilu masih berupa draf, syarat presidential threshold bagi calon presiden sebaiknya dihapus.(vws)

Sumber : Bimo Wiwoho, CNN Indonesia | Rabu, 27/01/2021 11:56 WIB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *