Lapsus  

EDITORIAL : TRAGEDI TUYAK, CARUT MARUT TATA KELOLA TAMBANG

Settling pond Tuyak sebelum jebol, (Foto: dok cokoliat.com)

JEBOLNYA settling pond Tuyak milik PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) pada Minggu (7/2) lalu menjadi  sorotan publik. Menyusul timbulnya bencana ekologis yang amat dahsyat. Diperkirakan sekitar 360.000 meter kubik air limbah, dari kolam seluas kurang lebih 12 hektar, tumpah ruah. Memenuhi 70 KM Sungai Malinau, selama 2 hari 1 malam. Membinasakan habitat yang hidup di sana.

Peristiwa dan dampak Tuyak jadi topik hangat berita media. Reaksi dan kecaman keras muncul dari pelbagai pihak. Para penggiat  dan lembaga lingkungan Malinau bergerak cepat merespon peristiwa tersebut bersama masyarakat terdampak, menuntut tanggung jawab KPUC.

Penangan Tuyak pascajebol Minggu, 7/2 (Foto: doc cokoloiat)

Petugas PDAM, Damkar, TNI dan Polisi  berjibaku menyuplai air bersih pada masyarakat yang mengalami krisis setelah PDAM stop beroperasi selama 30 jam. Terima kasih PDAM, Damkar, TNI dan Polri.

Siapa pun, dari pihak mana pun ia atau mereka yang  peduli dan mau menyuarakan kepentingan masyarakat patut diberi apresiasi. Mereka telah menjalankan peran dan tanggung jawab masing-masing.

KPUC telah menyatakan siap bertanggung jawab. Siap memenuhi penyelesaian akibat dampak. Tentu saja harus sebab itu adalah kewajiban mutlak harus harus dilaksanakan.  Namun demikian, kesiapan tanggung jawab mengganti kerugian secara materi, tidak serta merta menggugurkan konsekuensi hukum sesuai undang-undang—jika  memang kelak ditemukan.

Ganti rugi materi atas dampak pencemaran jauh lebih mudah dan murah dibandingkan dengan mengelola limbah secara professional.

Tuyak, settling pond limbah tambang KPUC itu—adalah bukti tata kelola tambang yang amatir. Mari toleh lagi ke belakang. Secara historis, 10 tahun lalu Tuyak adalah sebuah sungai. Ketika KPUC mulai melakukan penambangan pada tahun 2010 Tuyak terganggu. Tuyak diajukan untuk dijadikan settling pond. Tapi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Malinau, tak pernah menyetujui. DLH tetap memerintahkan KPUC merehabilitasi dan mengembalikan Tuyak ke rona awal.

Tragedi Tuyak bukan kasus pertama. Kasus serupa pernah terjadi mulai tahun 2010, 2011, 2012, 2017, dan puncaknya pada 7 Februari 2021. KPUC terlibat dalam rentetan kasus pencemaran sepanjang tahun tersebut. Tahun 2017 adalah tahun merak-maraknya kasus pencemaran limbah tambang. Pada itu tersebut KPUC tersandung belasan kali kasus pencemaran dalam kurun waktu 3 bulan (Agustus-September).

Menjadikan Tuyak sebagai settling pond;  apakah bukan sebuah kesalahan besar KPUC? Dari awal mestinya itu dihindarkan. Tapi begitulah, sampai jebol kemarin, Tuyak adalah settling pond.

Dampak pencemaran pasca jebolnya Tuyak (Foto: doc cokoliat)

Pascajebol, dapatkah Tuyak kembali ke rona semula? Atau akan kembali menjadi danau kecil berisi limbah tambang? Jika ini yang terjadi, kita berdoa semoga tragedi Tuyak tak berjilid.

Jika akan dikembalikan ke rona awal maka sekaranglah waktunya saat Tuyak sudah kerontang. KPUC harus sigap membangun settling pond pengganti Tuyak. Tak ada lagi tawar menawar. Penanganan Tuyak yang sekarang sedang berlangsung di bawah pengawasan pemerintah, harus mengarah pada upaya rehabilitas-pengembalian Tuyak ke rona awal. KPUC harus merevolusi manajemen tambang yang  “jahiliyah”  menjadi manajemen yang modern dan professional. Jika tidak maka repetisi kasus berpotensi terjadi.

Repetisi kasus pencemaran oleh limbah adalah bukti pelak manajemen tambang (perusahaan) yang amatir. Potret koorporasi yang tak punya manajemen serta perangkat baik dan memadai. Wajah sebuah sistem perusahaan yang pongah terhadap lingkungan.

Dan perusahaan itu, milik tangan kapitalis yang kuat sekaligus jumawa.