Perbandingan Waria Masa Nabi Muhammad SAW dan Masa Kini

 

Khodijah Nur Tsalis, Lc., M. IRKH.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur

 

 

LGBT; Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender, sebuah momok yang eksistensinya di anggap aib dalam suatu komunitas masyarakat. Momok yang dulunya tabu diketahui orang, namun kini malah terdapat beberapa pelaku LGBT yang memamerkan maksiatnya lewat media sosial, seakan ingin menunjukkan kepada masyarakat luas untuk mau tidak mau harus menerima eksistensi mereka.

Seperti beberapa waktu lalu, Indonesia dihebohkan pro kontra setelah kehadiran seorang gay berkebangsaan Indoneisa berdomisili di Jerman. Oknum ini diundang dalam podcast artis ternama Indonesia. Di sana secara terang-terangan dia menceritakan kehidupannya sebagai pasangan gay dengan WNA. Dia juga aktif membagikan kesehariannya sebagai pasangan gay di akun  Tik Tok dan Youtube.

Tak jarang ketika dia bertemu para  follower, mereka antusias untuk bersua foto. Tidak sedikit orang yang pro dengan gaya hidup yang dia jalani, entah dengan sekedar menyukai, mendukung, hingga mengikutinya sebagai panutan. Tapi di sisi lain banyak yang mengecamnya, hingga mengecam podcast si artis untuk men-take down video wawancara dengan pelaku gay ini.

Dulu, pelaku LGBT yang kita ketahui hanyalah jenis waria atau laki-laki feminim yang jumlahnya hanya beberapa orang yang hidup di sekitar kita,  baru terlihat di kawasan tertentu di malam hari. Namun kini lewat internet, kita mengetahui ada banyak sekali orang terjangkit LGBT di luar sana. Atas nama HAM, Hak Asasi Manusia, tanpa malu-malu mereka mengekspresikan diri mereka dengan menunjukkan kemesraannya dengan pasangan mereka di depan kamera untuk diperlihatkan kepada siapa saja.

Atas nama seni, mereka mengekspos hal-hal yang seharusnya bersifat privasi dan tidak pantas dijadikan konsumsi publik untuk pasangan normal, apalagi ini pasangan yang tidak normal. Mereka berani menjadi Mujahirin, orang yang terang-terangan bermaksiat, bukan maksiat dosa kecil, namun dosa besar yang setara atau bahkan lebih buruk dari zina.

Dalam dunia Islam, LGBT indentik dengan kaum Nabi Luth AS. Sebagai pelopor perilaku seks menyimpang, di beberapa ayat Alquran Allah SWT mengabadikan kisah dan azab yang diturunkan kepada mereka sebagai peringatan atas kejinya dosa yang mereka lakukan agar kita menjauhinya. Setelah itu, sulit menemukan catatan sejarah kaum LGBT hingga masa Rasulullah SAW. Dalam riwayat shohih kita ketahui bahwa jenis LGBT pernah eksis di masa Rasulullah SAW adalah waria.  Yang menarik adalah, disamping banyaknya riwayat tentang larangan dan hukuman terhadap pelaku penyimpangan seksual, tidak di temukan riwayat yang menunjukkan diberlakukannya hukuman ini terhadap para waria di masa Rasulullah SAW. Membaca pendapat para ulama, di ketahui bahwa waria di masa Rasulullah SAW tidak melakukan maksiat seksual. Mereka hanya di hukum dengan ta’zir  diasingkan ke luar Kota Madinah sampai akhir hayat mereka. Selain itu, ulama sepakat, penyimpangan gender yang mereka rasakan adalah bawaan lahir, bukan sesuatu di buat-buat atau karena pengaruh lingkungan. Sehingga mereka dianggap tidak berdosa dengan ke-waria-annya namun tetap diwajibkan menghilangkannya.

Ada banyak penelitian mengenai faktor-faktor penyebab seseorang menjadi waria, antara lain karena faktor intern (dari dalam diri, misalnya; keinginannya, hasratnya, bawaan sejak lahir) dan faktor dari luar yaitu faktor keluarga (misalnya; kurangnya kasih sayang orangtua, salah pola asuh, dan kurangnya perhatian), faktor lingkungan, faktor ekonomi.

Dari beberapa penyebab ini, setelah membaca riwayat-riwayat hadis, kondisi waria di masa kini paling mendekati kondisi waria di masa Rasulullah SAW adalah disebabkan bawaan sejak lahir. Suatu penyebab yang manusia tidak ada kuasa untuk menghindarinya. Meskipun begitu, mereka tetap diperintahkan menghilangkan perilaku penyimpangan ini.

Dari fenomena di atas, penulis ingin menganalisa lebih dalam definisi waria, bagaimana status hukum mereka dalam tinjauan Alquran dan hadis, kemudian melakukan perbandingan kondisi waria di masa Rasulullah SAW dengan waria di masa kini. Dengan penelitian ini, diharapkan bisa memberikah pemahaman yang baik kepada waria pada khususnya, dan masyarakat umum, bahwa menjadi waria karena bawaan lahir bukanlah hal memalukan dan meresahkan, selama dia konsisten mentaati perintah dan menjauhi larangan agama dengan baik dan sesuai aturan,

 

PENGERTIAN WARIA

LGBT; Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender adalah akronim dibuat untuk menunjukkan keanekaragaman orientasi seksual serta identitas seksualitas dan gender. Tiga istilah pertama digunakan untuk seseorang yang memiliki orientasi seksual yang tidak sesuai konsep seksualitas yang telah digariskan agama dan masyarakat umum. Namun kebanyakan mereka tetap bersikap dan berperilaku (bergender) sesuai ciri fisik atau biologis yang melekat sejak lahir. Sedangkan istilah transgender dipergunakan untuk seseorang yang memiliki inkonsistensi antara gender dan jenis kelamin mereka, dalam artian seseorang yang berperilaku dan bersikap tidak sesuai jenis kelamin yang mereka miliki sejak lahir. Transgender terbagi menjadi dua, laki-laki bersikap seperti perempuan atau biasa di sebut waria, dan sebaliknya perempuan bersikap seperti laki-laki atai biasa disebut tomboi.

Menurut KBBI, waria adalah akronim wanita pria; pria bersifat dan bertingkah laku seperti wanita; pria yang mempunyai perasaan sebagai wanita; wadam . Dari sini bisa dipahami bahwa di antara pelaku LGBT, waria adalah sosok  paling mudah dikenal sebagai pelaku LGBT. Terutama bagi mereka yang menjadi waria sejak bawaan lahir, sangat sulit bagi mereka menyembunyikan sikap lemah lembut ala wanita dan berpura-pura gagah di hadapan manusia.

Sedangkan pelaku lesbian, gay, biseksual dan tomboi tidak akan terlihat jika tidak berada di lingkungan sesama mereka. Seorang lesbian, gay dan biseksual dari luar terlihat normal sebagai perempuan maupun laki-laki. Mereka menunjukkan jati diri penyimpangan yang mereka lakukan hanya di hadapan seseorang yang mereka anggap sama.

Waria adalah gay, tetapi gay tidak harus waria. Seorang dikatakan gay ketika memiliki kertertarikan terhadap sesama jenis laki-laki, namun tidak semua gay berperilaku dan bersikap lembut seperti wanita. Beberapa diantara mereka bahkan memiliki fisik yang besar dan kuat dan berperilaku layaknya lelaki kuat. Dalam islam, banyak ulama yang mengkategorikan waria sebagai salah satu Ghoiru Ulil Irbah, yaitu lelaki yang tidak memiliki ketertarikan terhadap wanita. Maka bisa dipastikan, bahwa dalam islam semua waria adalah gay . Dalam Bahasa Arab, waria disebut mukhannats المُخَنَّث . Berasal dari kata خَنِثَ يَخْنَثُ , خَنِثَ الشَّابُّ  artinya bersikap santai, lemah lembut, yaitu pemuda berfisik laki-laki dan bersikap perempuan. Lalu kata المُخَنَّث al-Mukhannats maknanya adalah متشبه بالمرأة في سلوكه لبسًا وحركةً وكلامًا yang artinya laki-laki yang menyerupai perempuan dalam bersikap, berpakaian, berperilaku dan berbicara .

Ulama tidak menutup mata tentang keberadaan waria. Dalam literatur fiqih klasik, bisa di jumpai banyaknya pembahasan yang berkaitan dengan waria, seperti hukum waria menjadi imam salat, hukum hewan sembelihan waria, hukum pernikahan antara wanita normal dengan waria, hukuman bagi waria dan lain-lain.

WARIA DALAM ALQURAN

Secara tidak langsung, waria dalam Alquran  disinggung dalam surat An Nur:31. Ayat ini berisi konsep pendidikan akhlak, berupa perintah Allah SWT kepada para wanita untuk menjaga pandangan, menjaga kemaluan dan menutup aurat mereka di hadapan lelaki non mahram. Kemudian Alquran mengurai siapa saja mahram dan lelaki yang boleh  melihat perhiasan wanita, di antaranya adalah  التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ yang dalam terjemah Alquran Kementerian Agama (Kemenag) diartikan dengan “para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan)” .

الْإِرْبَةِ berasal dari kata أَرَبٌ, yaitu kebutuhan yang mendorong seseorang untuk melakukan tipudaya untuk memenuhinya. Dalam ayat ini, kata الْإِرْبَةِ adalah bentuk kiasan untuk kebutuhan seksual . Yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang hidup bersama orang lain, yang tidak memiliki keinginan dan kepentingan terhadap wanita dan yang menjadi kepentingan mereka hanyalah makanan untuk hidup.

Para ulama kemudian berbeda pendapat mengenai siapa saja yang di maksud dengan التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَال, di antara pendapat ulama adalah:

  1. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Hasan berkata: maksudnya adalah seseorang yang diciptakan oleh Allah SWT dalam kondisi waria.
  2. Menurut Mujahid, dia adalah seseorang yang kurang akalnya.
  3. Beberapa ulama berpendapat dia adalah orang tua, anak kecil, orang yang tidak sempurna akalnya.

Perbedaan pendapat ini bermuara pada satu hal yang sama, yaitu kesemuanya adalah jenis lelaki yang tidak memiliki keinginan syahwat terhadap wanita.

Banyak dari kalangan mufassirin yang berpendapat dan menukil pendapat ulama yang mengatakan bahwa maksud dari potongan ayat tersebut diantaranya adalah waria, di antaranya Tafsir Imam Ibnu Katsir, Imam Ath Thabary , Imam Ibnu Juzzi , Imam Al Baghawy , Imam Suyuthi , Imam al Baghawy  dan lain-lainnya.

Pendapat yang banyak diambil para ulama ini bukan tanpa dasar, karena terdapat waria yang hidup di zaman Rasulullah SAW yang sering masuk rumah Rasulullah SAW. Secara tegas Aisyah, istri Rasulullah SAW berkata bahwa waria tersebut masuk rumah Rasulullah SAW dan para istri tidak mengenakan hijab di hadapannya karena dianggap termasuk غَيْرُ أُولِى الإِرْبَةِ atau yang tidak memiliki keinginan terhadap wanita.

Selain itu, dia berkunjung ke rumah Rasulullah SAW karena dia adalah budak milik bibi Rasulullah SAW, dalam riwayat lain dikatakan budak saudara Rasulullah SAW, dan dalam riwayat yang lain lagi dikatakan dia adalah pengawal yang mengendalikan unta istri Rasulullah SAW. Kedekatan hubungan perbudakan inilah yang membuatnya sering masuk rumah Rasulullah SAW.

HADIS WARIA

Di masa Rasulullah SAW hidup seorang waria, bahkan berdasarkan beberapa riwayat lain terdapat setidaknya 4 waria. Riwayat-riwayat ini memiliki konteks yang sama namun nama-nama yang di sebut berbeda-beda, seperti perbedaan nama waria, kepada siapa dia berbicara dan nama kota tempat dia di asingkan. Sebagian Riwayat menyebutkan bahwa yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah orang yang sama, namun ada juga yang berpendapat bahwa terdapat lebih dari satu waria. Berikut beberapa hadis tersebut yang akan dikelompokkan berdasarkan perbedaannya.

Nama waria dan kepada siapa waria ini berbicara. Hadis yang di riwayatkan oleh Imam Bukhori

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي مُخَنَّثٌ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ الطَّائِفَ غَدًا فَعَلَيْكَ بِابْنَةِ غَيْلَانَ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُنَّ قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ وَقَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ الْمُخَنَّثُ هِيتٌ

Diriwayatkan dari Ummu Salamah RA, bahwa Rasulullah SAW masuk ke rumah ku, dan di rumah terdapat waria. Aku mendengar dia berkata kepada Abdullah bin Abi Umayyah “Wahai Abdullah, sekiranya esok hari Allah memenangkan Tha’if buat kalian, maka aku akan menunjukkan kepadamu anak perempuan Ghailan, karena menghadap dengan empat (lipatan perutnya – karena gemuk), dan membelakangi dengan delapan lipatan”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan: “Jangan sampai mereka itu masuk ke rumah kalian”. Ibnu ‘Uyaynah dan Ibnu Juraij berkata, “Waria itu bernama Hit”. Namun Ibnu Darastawaih, seorang ulama Bahasa Arab terkemuka berkata bahwa namanya yang benar adalah Hanab .

Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhori, yang mana sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa semua hadis dalam Shohih imam Bukhori tidak perlu diragukan keshohihannya. Hadis ini meriwayatkan bahwa waria tersebut berbicara kepada Abdullah bin Umayyah al Makhzumy, saudara seayah Ummul Mu’minin, Ummu Salamah RA. Ibu dari Abdullah bin Umayyah adalah bibi Rasulullah SAW, ‘Atikah binti ‘Abdul Muthallib yang menikah dengan Abu Umayyah bin al Mugirah al Makhzumy, ayah Ummu Salamah RA.

Hit adalah budak yang dimerdekakan Abdullah. Dia sering keluar masuk rumah Rasulullah SAW. Dalam riwayat lain dalam Musnad al Bazzar dengan sanad yang lemah, Dari ‘Amir bin Sa’ad bahwa Sa’ad ingin melamar seorang wanita di kota Makkah dan berharap ada seseorang yang bisa mengambarkan bagaimana fisik wanita tersebut. Kemudian Hit yang sering masuk ke rumah Ummul Mukminin Saudah berkata sebagaimana dalam riwayat Bukhory.

Rasulullah SAW yang mendengar perkataannya mengingkari hal tersebut dan mengasingkannya di luar kota Madinah. Hadis riwayat al-Bazzar ini termasuk hadis ghorib  sebab di seluruh sanad hanya diriwayatkan oleh satu orang dari satu orang saja. Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Sa’ad kecuali anaknya, ‘Amir. Tidak ada yang meriwayatkan dari ‘Amir kecuali Mujahid.

Begitu seterusnya di seluruh tingkat, hadis ini hanya diriwayatkan satu perawi dari satu perawi sampai akhir sanad al-Bazzar. Bahkan silsilah sanad Mujahid dari ‘Amir bin Sa’ad dari ayahnya hanyalah hadis satu ini saja.

Dalam riwayat Bukhori, Hit berbicara kepada Abdullah bin Umayyah di rumah Ummu Salamah, sedangkan dalam riwayat Bazzar, Hit berbicara kepada Sa’ad di rumah Saudah. Tidak sulit untuk memutuskan mana dari kedua riwayat ini yang shohih, tentunya adalah riwayat Bukhori. Apalagi hadis riwayat Bazzar tergolong hadis lemah karena ke-ghorib-annya. Meski sahabat yang di ajak bicara Hit berbeda, namun karena kesamaan nama waria, maka hadis ini penulis masukkan dalam kelompok pertama.

Hadis riwayat Abu Manshur al Bawardi dari ‘Aisyah RA dalam kitabnya Mu’jam as Sahabah yang dinukil Ibnu Hajar al ‘Asqolani dalam kitab Fath al-Bary ketika memberi syarah atau penjelasan terhadap hadis di atas.

وذكر الباوردي في الصحابة من طريق إبراهيم بن مهاجر عن أبي بكر بن حفص أن عائشة قالت لمخنث كان بالمدينة يقال له أنه بفتح الهمزة وتشديد النون الا تدلنا على امرأة نخطبها على عبد الرحمن بن أبي بكر قال بلى فوصف امرأة تقبل بأربع وتدبر بثمان فسمعه النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا أنة أخرج من المدينة إلى حمراء الأسد وليكن بها منزلك

Di riwayatkan oleh al Bawardi dalam kitab al Sahabah, dari Abu Bakar bin Hafs, bahwa ‘Aisyah RA berkata kepada waria di kota Madinah bernama Annah. Beritahukan kepadaku tentang wanita yang bisa kami lamar untuk menikah dengan Abdur Rahman bin Abi Bakar”. Dia berkata, “Baiklah”. Lalu dia menceritakan tentang wanita yang menghadap dengan empat (lipatan perutnya – karena gemuk), dan membelakangi dengan delapan lipatan. Rsulullah SAW mendengarnya, lalu berkata “Wahai Annah, keluarlah dari Madinah, (pergilah) ke Hamra’ al Asad. Di situlah tempat tinggalmu”.

Dalam hadis ini, waria tersebut bernama Annah dan berbicara kepada ‘Aisyah RA, kemudian Rasulullah SAW mengasingkannya ke Hamra’ al Asad.

Hadis ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab periwayatan hadis primer. Hadis ini hanya diriwayatkan al-Bawardi dalam kitab Mu’jam as-Sahabah yang mana karena keterbatasan penulis tidak dapat melacak secara langsung dari kitabnya, hanya bisa ditemukan dalam kitab Fath al-Bary dalam bentuk penukilan. Selain itu, Abu Bakar bin Hafs nama sebenarnya adalah Abdullah bin Hafs bin ‘Umar bin Sa’ad bin Abi Waqash , termasuk perawi hadis tsiqqoh, namun al-‘Alai menukil perkataan Abu Hatim bahwa dia tidak mendengar hadis dari ‘Aisyah RA , yang berarti sanad hadis ini terputus. Maka hadis ini termasuk hadis Dho’if atau lemah.

Hadis riwayat al-Bayhaqi dengan sanadnya dari Ibnu Ishaq

17438- أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بِشْرَانَ بِبَغْدَادَ أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ صَفْوَانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى الدُّنْيَا حَدَّثَنَنَا الْحَسَنُ بْنُ حَمَّادٍ الضَّبِّىُّ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ يَزِيدَ عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَيَّاشِ بْنِ أَبِى رَبِيعَةَ قَالَ : كَانَ الْمُخَنَّثُونَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةً مَاتِعٌ وَهِدْمٌ وَهِيتٌ وَكَانَ مَاتِعٌ لِفَاخِتَةَ بِنْتِ عَمْرِو بْنِ عَائِذٍ خَالَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَكَانَ يَغْشَى بُيُوتَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَيَدْخُلُ عَلَيْهِنَّ حَتَّى إِذَا حَاصَرَ الطَّائِفَ سَمِعَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَقُولُ لِخَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ : إِنِ افْتُتِحَتِ الطَّائِفُ غَدًا فَلاَ تَنْفَلِتَنَّ مِنْكَ بَادِيَةُ بِنْتُ غَيْلاَنَ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« لاَ أَرَى هَذَا الْخَبِيثَ يَفْطُنُ لِهَذَا لاَ يَدْخُلُ عَلَيْكُنَّ بَعْدَ هَذَا ». لِنِسَائِهِ قَالَ ثُمَّ أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَافِلاً حَتَّى إِذَا كَانَ بِذِى الْحُلَيْفَةِ قَالَ :« لاَ يَدْخُلَنَّ الْمَدِينَةَ ». وَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ فَكُلِّمَ فِيهِ وَقِيلَ لَهُ إِنَّهُ مِسْكِينٌ وَلاَ بُدَّ لَهُ مِنْ شَىْءٍ فَجَعَلَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمًا فِى كُلِّ سَبْتٍ يَدْخُلُ فَيَسْأَلُ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى مَنْزِلِه فَلَمْ يَزَلْ كَذَلِكَ عَهْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَعَلَى عَهْدِ عُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَنَفَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَاحِبَيْهِ مَعَهُ هِدْمٌ وَالآخَرُ هِيتٌ

 

Di riwayatkan oleh Ibnu Ishaq bahwaMusa bin Abdur Rahman bin ‘Ayyash bin Abi Rabiah berkata: ada tiga waria di masa Rasulullah SAW: Mati’ Hadm dan Hit. Rasulullah SAW mendengar Mati’ berkata kepada Khalid bin Walid RA. “Jika kamu menakhlukkan Kota Thaif, maka jangan (biarkan) Badiyah bint Ghaylan lari darimu, sesungguhnya dia menghadap dengan empat (lipatan perutnya – karena gemuk), dan membelakangi dengan delapan lipatan. Ketika Rasulullah SAW mendengarnya, Beliau berkata “ Aku tidak menyangka orang buruk ini mengerti sesuatu yang aku dengar (barusan)”, lalu Beliau berkata kepada istrinya “Jangan masukkan orang ini ke dalam rumah”. Lalu dia dilarang masuk rumah Rasulullah SAW. Ketika Rasuluallah SAW bertemu kafilah dan tiba di Dzil Hulaifah, Mati’ dilarang masuk Kota Madinah. Lalu suatu hari ada yang menyinggung tentangnya bahwa Mati’ adalah orang miskin yang memerlukan makanan, maka dia diizinkan masuk Kota Madinah setiap Sabtu. Hal ini berlangsung sampai masa Khalifah Umar bin Khattab RA. Rasulullah SAW juga mengasingkan kedua temannya bersamanya; Hidm dan Hit.

Berdasarkan hadis ini, waria tersebut bernama Mati’ dan dia membicarakan tentang Bint Ghaylan kepada Khalid bin al-Walid. Dia adalah budak yang dimerdekakan oleh Fakhitah bint ‘Amru, bibi Rasulullah SAW dari sisi Ibunya Aminah. Maka tidak heran jika waria tersebut sering keluar masuk rumah Rasulullah SAW. Dalam riwayat ini Musa bin Abdur Rahman bin ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah berpendapat bahwa terdapat tiga waria di masa Rasulullah SAW; Mati’, Hit dan Hadm. Namun Ibnu Hajar dalamnya kitabnya Al-Ishobah fi Tamyiz As-Sahabah, kitab tentang biografi sahabat menganggap Hadm dan Hit adalah orang yang sama.

Hadis ini hanya diriwayatkan Ibnu Ishaq dalam kitabnya al-Maghazi, yang kemudian di riwayatkan juga dengan sanad yang sama sampai kepada al-Bayhaqi dan dinukil oleh Ibnu Hajar al-‘Asqolani dalam Fath al-Bari. Silsilah sanad Ibnu Ishaq dari Yazid dari Musa bin Abdur Rahman bin ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah hanya di temukan di hadis ini. Penulis kesulitan melacak status Jarh ta’dil setiap perawi karena tidak ditemukan siapa yang dimaksud dengan Yazid dalam sanad ini, dan tidak ditemukan juga siapa Musa bin Abdur Rahman bin ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah. Hanya terdapat satu petunjuk mengenai status hadis ini yaitu keterangan al-Bayhaqi yang juga menukil hadis ini dalam as-Sunan as-Shugra dengan berkata “Hadis yang diriwayatkan oleh Musa bin Abdur Rahman bin ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah secara Mursal  ”. Karena hadis ini diriwayatkan secara Mursal  dan tidak ada hadis penguat, maka status hadis ini dha’if atau lemah.

Dari tiga riwayat di atas, bisa disimpulkan bahwa ketiga hadis memiliki konteks yang sama; yaitu waria berbicara kepada sahabat tentang Badiyah bint al-Ghaylan. Namun ketiganya berbeda dalam penamaan waria dan kepada siapa dia berbicara. Setelah melakukan Dirasah Asanid, maka hadis yang paling bisa dipastikan ke-Shohih-annya adalah hadis pertama riwayat Bukhori. Sedangkan hadis kedua dan ketiga meski berstatus lemah, Ibnu Hajar menukil keduanya dalam men-syarah hadis pertama di Fath Al-Bari dan memasukkan biografi ketiganya dalam kitabnya Al-Ishobah fi Tamyiz As-Sahabah, kitab tentang biografi sahabat.

JUMLAH WARIA

Berdasarkan 3 hadis di atas, nama waria yang hidup di masa Rasulullah SAW adalah Hit, Annah dan Mati’. Selain tiga nama tersebut, terdapat riwayat yang mengatakan ada waria lain dengan nama berbeda, yaitu Anjasah. Dia adalah pengawal Rasulullah SAW. Hadis tentang Anjasah di riwayatkan oleh Imam Bukhory dalam Shohihnya

عن أنس بن مالك قال كان للنبي صلى الله عليه وسلم حاد يقال له أنجشة وكان حسن الصوت فقال له النبي صلى الله عليه وسلم رويدك يا أنجشة سوقك بالقوارير

Dari Anas bin Malik  berkata : Rasulullah SAW memiliki seorang pengawal bernama Anjasyah, dan Anjasyah memiliki suara yang merdu, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Pelan-pelan wahai Anjasyah, jangan engkau pecahkan gelas-gelas kaca.”

 

Dalam riwayat lain dari Thabarany dari Watsilah

عن واثلة قال : لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم المخنثين من الرجال والمترجلات من النساء وقال : أخرجوهم من بيوتكم فأخرج النبي صلى الله عليه و سلم الحبشة وأخرج عمر فلانا

Dari Watsilah berkata: Rasulullah SAW melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai lelaki, lalu Rasulullah SAW berkata “Keluarkan mereka dari rumah kalian”, lalu Rasulullah mengeluarkan seorang Habasyah dan Umar mengeluarkan Fulan.

Dalam riwayat Thabarany tidak menyebutkan bahwa orang Habasyah yang dimaksud adalah Anjasah, namun Ibnu Hajar al ‘Ashqolani  dan Haitsami  dengan menukil riwayat Thabarani berpendapat bahwa orang Habasyah yang dikeluarkan Rasulullah SAW adalah Anjasah. Sebab Anjasah adalah orang berkulit hitam, seorang pengawal dan berasal dari Habasyah .

Dari riwayat-riwayat ini bisa di simpulkan bahwa jumlah waria di masa Rasulullah adalah empat; Hit, Annah, Mati’ dan Anjasah, sebagaimana pendapat Ibnu Hajar yang memasukkan keempatnya dalam biografi sahabat sebagai seorang waria. Tetapi jumlah ini tidak disepakati para ulama. Menurut Abu Salamah bin Abdur Rahman ada dua waria di masa Rasulullah SAW; Hit dan Mati’ . Sependapat dengan Musa bin ‘Abdur Rahman di atas, Abu Ubaid al Bakry juga mengatakan ada tiga waria di masa Rasulullah SAW: Hit, Hadm dan Mati’ . Menurut al Waqidi meski cerita tentang waria ini sama, namun itu bisa saja terjadi dua kali. Karena Hit adalah budak yang di merdekakan oleh Abdullah bin Abi Umayyah dan Mati’ adalah budak yang dimerdekakan Fakhitah, kemudian Rasulullah SAW mengasingkan keduanya ke Huma .  Seorang pensyarah kitab Sirah Ibnu Hisyam yang terkenal, Abul Qasim al Suhaily berkata bahwa ada 4 waria di masa Rasulullah SAW; Hit, Harm, Mati’ dan Annah .

HUKUMAN TERHADAP WARIA DI MASA RASULULLAH SAW

Sudah tidak asing di telinga kita bahwa Islam sangat menentang keras perilaku LGBT sebagaimana yang tertulis di beberapa ayat dalam Alquran tentang kisah Nabi Luth AS. Dalam banyak Hadis Rasulullah SAW juga banyak melarang perbuatan sodom dengan melaknat dan perintah membunuh kedua pelaku.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ »

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menjumpai seseorang berbuat perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah kedua pelaku”.

Sedangkan hadis-hadis yang secara khusus berkaitan hukum waria bisa dijumpai dalam riwayat tentang laknat terhadap lelaki yang menyerupai wanita dan sebaliknya.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: “Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan, dan perempuan menyerupai laki-laki”.

Penyerupaan dimaksud dalam hadis ini bisa dipahami secara umum, entah dengan hal berpakaian, berperilaku, memakai perhiasan, dan lain-lain. Secara khusus terdapat riwayat lain yang menunjukkan laknat terhadap laki-laki yang berperilaku lemah lembut seperti wanita dan sebaliknya.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلَانًا

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dai berkata: “ Rasulullah SAW melaknat lelaki yang berperilaku lemah lembut seperti wanita, dan wanita yang berperilaku seperti laki-laki. Rasulullah SAW berkata: “Keluarkan mereka dari rumahmu”, Lalu Rasulullah SAW mengeluarkan fulan, dan Umar mengeluarkan fulan (dari Kota Madinah)” .

Namun tidak ditemukan riwayat Rasulullah SAW pernah menghukum mati waria-waria ini. Mereka di hukum dengan cara di asingkan di luar kota Madinah, mereka hanya di izinkan memasuki kota Madinah seminggu sekali untuk mencari makanan di hari Jumat  atau Sabtu. Ketetapan ini terus berjalan hingga masa Khalifar Umar bin Khattab, sampai mereka meninggal. Nama kota tempat mereka di asingkan juga berbeda. Ibnu Hajar menukil beberapa riwayah mengenai di kota mana waria ini di asingkan. Diantaranya di kota Hamra’ al Asad, al Hima, al Naqi’, Baida . Ada juga riwayat mengatakan Mati’ diasingkan Abu Bakar Ash Siddiq ke kota Fadak .

Hal ini menimbulkan pertanyaan, sebagaimana sahabat dulu juga pernah bertanya, mengapa mereka tidak dihukum mati. Imam Abu Daud meriwayatkan hadis mengenai hal ini. seorang waria yang menggunakan pewarna kuku di tangan dan kaki nya, kemudian Rasulullah SAW mengasingkannya ke daerah Naqi’. Ketika Rasulullah SAW ditanya, mengapa mereka tidak di bunuh, Beliau menjawab “Aku dilarang membunuh orang yang salat”.

Selain alasan di atas, Imam Ibnu Hajar menjelaskan alasan lain dengan menukil perkataan Muhammad bin al Munkadir, bahwa dua alasan Rasulullah SAW mengasingkan waria; pertama karena dia telah mendeskripsikan bentuk fisik seorang wanita kepada lelaki non mahrom dan kedua karena dia berperilaku seperti wanita. Waria-waria ini tidak di hukum mati karena mereka tidak melakukan perbuatan liwath ataupun zina. Sikap lembut kewanitaan yang mereka lakukan juga bukan hal yang di buat-buat (takallufy), tapi merupakan bawaan sejak lahir (khilqy) yang tidak berdosa namun tetap harus diusahakan untuk menghilangkannya.

WARIA DI MASA KINI

Keberadaan waria di Indonesia bukanlah hal baru. Bahkan sejak lama fenomena waria sudah menjadi bagian dari budaya lokal di Indonesia tercermin dari ethnolocality dari istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan mereka, seperti Kedi di Bali, Kawe-kawe di Makassar, Calabai di masyarakat Bugis, dan Wandu di Jawa . Beberapa ritual budaya di beberapa daerah juga erat kaitannya dengan figur waria seperti Warog-Gemblak di Jawa, Nganjuk di Kalimantan Selatan dan Bissu di Sulawesi . Waria telah dikenal luas di Indonesia dan menjadi bagian dari beberapa budaya lokal di Indonesia.

Ada banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab seseorang menjadi waria. Yang pertama adalah Faktor sosiologis, pada  faktor  ini  yang  paling berpengaruh dari teman, lingkungan masyarakat  dan  lingkungan  keluarga  seperti orang tua tidak melarang berdandan, berperilaku layaknya perempuan dan tidak ada larangan bermain rumah-rumahan serta masak-masakan. Yang kedua adalah faktor psikologis, yang  melatarbelakangi  menjadi  waria  antara lain, pola asuh orang tua, trauma seksual akibat pelecehan pada masa anak-anak yang mempengaruhi perkembangan psikologis anak. Ketiga faktor biologis yaitu faktor bawaan dan DNA  yaitu  tidak  seimbang. Ini berhubungan dengan  hormon pada diri seseorang sejak  lahir yaitu  jumlah  hormon  wanita  cenderung  lebih besar daripada laki-laki .

Di masa kini waria di kelompokkan dalam bagian dari LGBT. Seakan menuntun keyakinan kita bahwa mayoritas waria melakukan praktik penyimpangan seksual. Pengucilan dan perlakuan buruk dari masyarakat juga membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang formal dan baik. Sehingga sebagian besar waria bekerja sebagai pekerja seks malam, tata rias dan pengamen. Pun dalam hubungan sosial, umumnya mereka hanya berkumpul dengan sesama waria. Maka tidak kaget jika waria menjadi salah satu kelompok yang beresiko tinggi terinfeksi HIV. Sebuah penyakit yang tidak hanya membawa ancaman terhadap status kesehatannya, tapi juga terhadap fisik, psikis dan psikososial seringkali menyertai ODHIV.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka bisa di pahami mengapa Islam sangat tegas melarang perilaku LGBT, khususnya waria. Karena tidak semua waria karena bawaan sejak lahir, namun karena faktor-faktor eksternal yang seharusnya bisa di hindari dan di cegah. Apalagi kita ketahui bersama adanya penyakit berbahaya yang banyak menjangkiti waria yang tidak menjaga kemaluannya dari perbuatan maksiat. Islam hanya memberikan toleransi kepada waria yang di sebabkan oleh faktor biologis dan tidak melakukan maksiat penyimpangan seksual.

Namun tidak semua waria harus di pandang buruk. Secara umum dengan fitrah suci manusia, waria pasti melewati proses pemberontakan atas apa yang terjadi pada mereka. Tidak ada yang menghendaki di takdirkan menjadi berbeda, di tolak, di diskriminasi, di kucilkan, hidup tanpa dukungan keluarga dan teman. Masih ada waria yang masih menjaga hubungan baik dengan Tuhannya dengan menjalankan kewajban-kewajiban agama meski tidak dengan sempurna. Mereka yang tumbuh dengan didikan agama yang baik, masih berusaha dan berharap menjadi hamba Tuhan yang baik. Beberapa dari mereka menjalankan ritual-ritual keagamaan seperti puasa, mengaji dan sholat meski tidak lengkap dengan tata cara laki-laki, karena mereka merasa di mata Tuhan mereka adalah laki-laki, meski mereka merasa berjiwa perempuan. Mereka juga mengetahui beberapa ajaran agama yang diperintahkan dan dilarang bahwa menyerupai lawan jenis dalam berpakaian dan bersikap adalah hal yang dilarang agama. Namun tidak mudah menjadi hamba Tuhan yang sempurna. Mereka pasrah atas apa yang terjadi pada kehidupan mereka, pun menyadari konsekuensi atas pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan .

Dari analisis di atas, dapat disimpulkan, fenomena LGBT sudah ada sejak masa dulu, yaitu pada kaum Nabi Luth AS. Fenomena ini kemudian tidak terlacak sampai masa Rasulullah SAW, di mana kita temukan literatur hadis yang menjelaskan adanya lebih dari satu waria di masa Rasulullah SAW. Meski terdapat hadis tentang laknat dan perintah untuk membunuh pelaku penyimpangan perilaku seksual, para waria ini dihukum dengan cara diasingkan di luar Kota Madinah sampai mereka meninggal di masa Khalifah Umar bin Khattab.

Para ulama berpendapat bahwa hukuman ini disebabkan perilaku dan sikap mereka yang tidak sesuai dengan identitas seksual. Mereka telah mendeskripsikan bentuk fisik seorang wanita kepada lelaki non mahrom. Para ulama juga berpendapat status waria mereka terjadi karena bawaan sejak lahir, sehingga tidak berdosa, meski tetap diwajibkan berusaha mengubah perilaku.

Sedangkan waria di masa kini, tidak semuanya disebabkan faktor bawaan sejak lahir. Banyak juga yang menjadi waria karena faktor eksternal, seharusnya bisa dicegah dan dihindari. Kebanyakan mereka juga melakukan praktik penyimpangan seksual hingga termasuk tertinggi sebagai orang hidup dengan HIV (ODHIV).

Waria dengan kondisi inilah yang dilarang keras Islam. Namun juga terdapat waria yang masih melakukan ritual keagamaan meski tidak sempurna. Mereka yang berusaha menjadi hamba Tuhan yang baik, tapi juga sulit meninggalkan beberapa larangan agama menyadari adanya konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan. Mereka inilah yang diharapkan mendapat rahmat Tuhan untuk kemudian menjadi hamba-Nya yang di-ridhoi. (*)